Ketika zaman tabi’in yaitu abad ke-2 hijriyah, seorang ulama Hasan al-Bashri rh pernah tertegun mendengar ucapan seorang tukang kuli angkut karena selama mengangkat barang, tukang kuli angkut ini lisannya tidak lepas dari berzikir dan berdoa serta hafalan Al-Quran-nya pun sampai 15 juz.
Begitupun dengan Imam Abu Hanifah rh, beliau pernah salah tingkah oleh seorang tukang cukur muridnya seorang ulama tabi’in masyhur Atha’ bin Abi Rabah yang mempunyai murid berbeda-beda kalangan, dari mulai Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik sampai tukang cukur.
Sangat jauh berbeda dengan zaman thaghal jahlu (merajalelanya kebodohan) ini, para pekerja seperti kuli angkut, kuli bangunan, tukang becak, tukang cukur dan lain-lain, kebanyakan mengeluh karena kekurangan (dunia) dan berangan-angan panjang ingin menjadi orang kaya.
Kebanyakan pekerja menengah dan atas pun karakternya sama juga karena dididik dengan sistem yang sama. Padahal angan-angan panjang itu bisa menyebabkan binasa dan celaka. Rasulullah r bersabda, “Empat macam yang menyebabkan binasa dan celaka (yaitu) mata yang kering, keras hati, panjang angan-angan dan rakus terhadap dunia”. (HR. Al-Bazzar)
Percakapan antara Tukang Cukur dengan Imam Abu Hanifah rh
Imam Abu Hanifah an-Nu’man menceritakan pengalaman beliau, “Aku pernah melakukan 5 kesalahan ketika melakukan manasik di Mekkah, lalu seorang tukang cukur mengajariku. Peristiwa tersebut terjadi manakala aku bermaksud mencukur rambut karena hendak menyudahi ihram, maka aku mendatangi seorang tukang cukur, lalu aku bertanya, “Berapa upah yang harus aku bayar untuk mencukur rambut kepala?”.
Tukang cukur itu menjawab, “Semoga Allah memberikan hidayah kepada anda, ibadah tidak mempersyaratkan itu, duduklah dan posisikan kepala sesuka anda”. Aku pun merasa grogi dan duduk. Hanya saja ketika itu aku duduk membelakangi kiblat, maka tukang cukur tersebut mengisyaratkan agar aku menghadap kiblat dan aku pun menuruti kata-katanya.
Yang demikian semakin membuat aku salah tingkah. Lalu saya serahkan kepala bagian kiri untuk dipangkas rambutnya, namun tukang cukur itu berkata, “Berikan bagian kanan”. Lalu aku pun menyerahkan bagian kanan kepalaku.
Tukang cukur itu mulai memangkas rambutku sementara aku hanya diam memperhatikannya dengan takjub. Melihat sikapku, tukang cukur itu berkata, “Mengapa anda diam saja? Bertakbirlah!”. Lalu akupun takbir hingga aku beranjak untuk pergi.
Untuk kesekiankali tukang cukur itu menegurku, “Hendak kemanakah anda?”. Aku berkata, “Aku hendak pergi menuju kendaraanku”. Tukang cukur itu berkata, “Shalatlah 2 rakaat dahulu, baru kemudian silahkan pergi sesuka anda”.
Akupun shalat 2 rakaat, lalu aku berkata kepada diriku sendiri, “Tidak mungkin seorang tukang cukur bisa berbuat seperti ini melainkan pasti dia memiliki ilmu”. Kemudian aku bertanya kepadanya, “Dari manakah anda mendapatkan tatacara manasik yang telah anda ajarkan kepadaku tadi?”. Orang itu menjawab, “Aku melihat Atha’ bin Abi Rabah mengerjakan seperti itu lalu aku mengambilnya dan memberikan pengarahan kepada manusia dengannya”.” (Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in)
Apa yang Membuat Sedih Para Pekerja?
Yang paling penting adalah bukan perkara besar atau kecilnya upah tapi parameter atau acuan kebahagiaan. Para pekerja dulu, parameter kebahagiaannya adalah nikmatud diin (nikmat paham din). Jadi, meskipun upah atau penghasilan kecil pun mereka sudah mendapatkan kebahagiaan hakiki.
Mereka sedih apabila kehilangan amalan akhirat seperti terlewat qiyamul lail (shalat malam), terlewat majlis ilmu, terlewat shalat berjama’ah, terlewat shaum, terlewat muthala’ah (baca buku Islam) dan lain-lain.
Kondisi sekarang sungguh jauh berbeda dan berlawanan arah, kebanyakan pekerja sedih karena kehilangan dunia seperti gaji yang sedikit, gaji yang tidak naik-naik, gaji yang tidak mencukupi, keuntungan yang sedikit, jual beli yang batal, proyek yang batal, batal naik jabatan dan lain-lain.
Tidak ada sedikitpun penyesalan kalau terlewat qiyamul lail, terlewat majlis ilmu, terlewat shalat berjama’ah, terlewat shaum, terlewat muthala’ah (baca buku Islam) dan lain-lain. Umar bin Khattab ra berkata, “Sedih karena dunia itu menggelapkan hati, sedih karena akhirat itu membuat hati bercahaya”. Makanya kebanyakan pekerja sekarang meskipun penghasilan besar tapi hatinya gelap gulita.
Jadi, bukannya kemiskinan yang harus dihapuskan karena kalau tidak ada yang miskin maka tidak akan ada yang kaya. Miskin dan kaya adalah sunnatullah. Yang harus kita lakukan adalah bagaimana caranya agar para pekerja ini bisa merasakan nikmatud diin (nikmat paham dinul Islam).
Untuk mendapatkan nikmatud diin hanya dengan thalabul ilmi syar’i (menuntut ilmu syar’i) melalui mulazamah yaitu mengambil ilmu dari orang (ilmun fish shudur/ilmu di dalam dada) melalui sam’i (pendengaran) dan muthala’ah yaitu mengambil ilmu dari buku (ilmun fis shuthur/ilmu dari buku) melalui bashar (penglihatan).
Begitupun dengan Imam Abu Hanifah rh, beliau pernah salah tingkah oleh seorang tukang cukur muridnya seorang ulama tabi’in masyhur Atha’ bin Abi Rabah yang mempunyai murid berbeda-beda kalangan, dari mulai Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik sampai tukang cukur.
Sangat jauh berbeda dengan zaman thaghal jahlu (merajalelanya kebodohan) ini, para pekerja seperti kuli angkut, kuli bangunan, tukang becak, tukang cukur dan lain-lain, kebanyakan mengeluh karena kekurangan (dunia) dan berangan-angan panjang ingin menjadi orang kaya.
Kebanyakan pekerja menengah dan atas pun karakternya sama juga karena dididik dengan sistem yang sama. Padahal angan-angan panjang itu bisa menyebabkan binasa dan celaka. Rasulullah r bersabda, “Empat macam yang menyebabkan binasa dan celaka (yaitu) mata yang kering, keras hati, panjang angan-angan dan rakus terhadap dunia”. (HR. Al-Bazzar)
Percakapan antara Tukang Cukur dengan Imam Abu Hanifah rh
Imam Abu Hanifah an-Nu’man menceritakan pengalaman beliau, “Aku pernah melakukan 5 kesalahan ketika melakukan manasik di Mekkah, lalu seorang tukang cukur mengajariku. Peristiwa tersebut terjadi manakala aku bermaksud mencukur rambut karena hendak menyudahi ihram, maka aku mendatangi seorang tukang cukur, lalu aku bertanya, “Berapa upah yang harus aku bayar untuk mencukur rambut kepala?”.
Tukang cukur itu menjawab, “Semoga Allah memberikan hidayah kepada anda, ibadah tidak mempersyaratkan itu, duduklah dan posisikan kepala sesuka anda”. Aku pun merasa grogi dan duduk. Hanya saja ketika itu aku duduk membelakangi kiblat, maka tukang cukur tersebut mengisyaratkan agar aku menghadap kiblat dan aku pun menuruti kata-katanya.
Yang demikian semakin membuat aku salah tingkah. Lalu saya serahkan kepala bagian kiri untuk dipangkas rambutnya, namun tukang cukur itu berkata, “Berikan bagian kanan”. Lalu aku pun menyerahkan bagian kanan kepalaku.
Tukang cukur itu mulai memangkas rambutku sementara aku hanya diam memperhatikannya dengan takjub. Melihat sikapku, tukang cukur itu berkata, “Mengapa anda diam saja? Bertakbirlah!”. Lalu akupun takbir hingga aku beranjak untuk pergi.
Untuk kesekiankali tukang cukur itu menegurku, “Hendak kemanakah anda?”. Aku berkata, “Aku hendak pergi menuju kendaraanku”. Tukang cukur itu berkata, “Shalatlah 2 rakaat dahulu, baru kemudian silahkan pergi sesuka anda”.
Akupun shalat 2 rakaat, lalu aku berkata kepada diriku sendiri, “Tidak mungkin seorang tukang cukur bisa berbuat seperti ini melainkan pasti dia memiliki ilmu”. Kemudian aku bertanya kepadanya, “Dari manakah anda mendapatkan tatacara manasik yang telah anda ajarkan kepadaku tadi?”. Orang itu menjawab, “Aku melihat Atha’ bin Abi Rabah mengerjakan seperti itu lalu aku mengambilnya dan memberikan pengarahan kepada manusia dengannya”.” (Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in)
Apa yang Membuat Sedih Para Pekerja?
Yang paling penting adalah bukan perkara besar atau kecilnya upah tapi parameter atau acuan kebahagiaan. Para pekerja dulu, parameter kebahagiaannya adalah nikmatud diin (nikmat paham din). Jadi, meskipun upah atau penghasilan kecil pun mereka sudah mendapatkan kebahagiaan hakiki.
Mereka sedih apabila kehilangan amalan akhirat seperti terlewat qiyamul lail (shalat malam), terlewat majlis ilmu, terlewat shalat berjama’ah, terlewat shaum, terlewat muthala’ah (baca buku Islam) dan lain-lain.
Kondisi sekarang sungguh jauh berbeda dan berlawanan arah, kebanyakan pekerja sedih karena kehilangan dunia seperti gaji yang sedikit, gaji yang tidak naik-naik, gaji yang tidak mencukupi, keuntungan yang sedikit, jual beli yang batal, proyek yang batal, batal naik jabatan dan lain-lain.
Tidak ada sedikitpun penyesalan kalau terlewat qiyamul lail, terlewat majlis ilmu, terlewat shalat berjama’ah, terlewat shaum, terlewat muthala’ah (baca buku Islam) dan lain-lain. Umar bin Khattab ra berkata, “Sedih karena dunia itu menggelapkan hati, sedih karena akhirat itu membuat hati bercahaya”. Makanya kebanyakan pekerja sekarang meskipun penghasilan besar tapi hatinya gelap gulita.
Jadi, bukannya kemiskinan yang harus dihapuskan karena kalau tidak ada yang miskin maka tidak akan ada yang kaya. Miskin dan kaya adalah sunnatullah. Yang harus kita lakukan adalah bagaimana caranya agar para pekerja ini bisa merasakan nikmatud diin (nikmat paham dinul Islam).
Untuk mendapatkan nikmatud diin hanya dengan thalabul ilmi syar’i (menuntut ilmu syar’i) melalui mulazamah yaitu mengambil ilmu dari orang (ilmun fish shudur/ilmu di dalam dada) melalui sam’i (pendengaran) dan muthala’ah yaitu mengambil ilmu dari buku (ilmun fis shuthur/ilmu dari buku) melalui bashar (penglihatan).
0 komentar:
Posting Komentar